OPINI: Hakordia 2025 Satukan Aksi Basmi Korupsi, Dimulai dari Diri Sendiri dan Budaya Keluarga
Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap tanggal 9 Desember bukan hanya agenda simbolik, tetapi momentum global untuk mendorong peningkatan integritas pemerintahan, transparansi publik, serta penguatan moral bangsa. Tema Hakordia 2025, “Satukan Aksi, Basmi Korupsi”, memberikan pesan jelas bahwa pemberantasan korupsi tidak boleh menjadi tugas satu lembaga saja, tetapi gerakan bersama seluruh elemen bangsa, mulai dari individu, keluarga, lembaga pendidikan, pemerintah, hingga sektor swasta.
Oleh DR Muhamad Pazri SH MH
Ketua Yayasan Edukasi Hukum Indonesia (YEHI)
dan Sekretaris Komite Advokasi Daerah (KAD) Anti Korupsi Kalsel
Hakordia 2025 mengingatkan bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi tidak dapat bertumpu pada satu instansi saja. Setiap individu memiliki peran penting dalam menjaga kejujuran, mulai dari tindakan kecil dalam kehidupan sehari-hari hingga keberanian menolak praktik tidak etis.
Di tingkat keluarga, nilai-nilai integritas dapat ditanamkan melalui keteladanan dan komunikasi yang baik. Orang tua harus menjadi contoh utama, baik dalam mengajarkan kejujuran maupun menolak praktik penyimpangan, sekecil apa pun bentuknya. Pendidikan integritas sejak usia dini terbukti efektif membentuk karakter generasi yang tidak permisif terhadap korupsi.
Sementara di lingkungan kerja, budaya antikorupsi dapat diwujudkan melalui sistem transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas yang ketat. Lembaga wajib menerapkan standar etik, audit internal, serta sistem pelaporan yang mencegah peluang penyalahgunaan kewenangan dan anggaran. Ketika nilai-nilai ini dijaga secara konsisten, gerakan nasional antikorupsi akan semakin kuat dan berkelanjutan.
Korupsi terbukti berdampak luas terhadap pelayanan publik, kualitas demokrasi, hingga kesejahteraan masyarakat. Korupsi memperlambat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemampuan negara memenuhi kebutuhan dasar rakyat, dan merusak kepercayaan publik kepada institusi negara. Bahkan dalam konteks daerah, korupsi kepala daerah baik dalam bentuk suap perizinan, jual beli jabatan, maupun penyalahgunaan bansos telah menciptakan lingkaran gelap politik yang merusak tatanan pemerintahan lokal.
Karena itu, pemberantasan korupsi harus ditempatkan sebagai agenda nasional strategis, bukan hanya respons terhadap kasus yang muncul. Pemerintah pusat, daerah, dan penegak hukum perlu memperkuat sinergi dalam mendorong reformasi birokrasi, digitalisasi anggaran, dan audit berbasis teknologi. Di sisi lain, masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas lokal wajib memainkan peran pengawasan sosial yang kritis dan independen.
Tantangan pemberantasan korupsi hari ini semakin kompleks. Banyak modus baru muncul melalui pencucian uang digital, manipulasi pengadaan berbasis teknologi, hingga penyamaran investasi politik menjelang pilkada. Karena itu, aparat penegak hukum membutuhkan kemampuan investigasi berbasis digital serta sistem pelaporan kekayaan pejabat yang terhubung dengan data transaksi keuangan secara otomatis.
Hakordia 2025 harus menjadi refleksi kolektif bahwa bangsa ini tidak akan bebas dari korupsi tanpa perubahan karakter, budaya, dan perilaku. Perubahan mentalitas jauh lebih penting daripada sekadar penindakan pidana. Setiap individu perlu berani menolak gratifikasi, menghindari kolusi, dan menjauhi praktik nepotisme di lingkungannya masing-masing.
Kita tidak boleh lagi menganggap korupsi hanya sebagai kejahatan pejabat, tetapi sebagai penyakit sosial yang harus dilawan oleh semua pihak. Pemerintah membutuhkan rakyat berintegritas, dan rakyat membutuhkan pemerintah yang bersih. Sinergi inilah yang menjadi pondasi Indonesia maju dan berkeadilan.
Pada akhirnya, Hakordia 2025 menjadi momentum moral untuk mengajak seluruh rakyat Indonesia bangkit, bergerak, dan bersatu memberantas penyalahgunaan kekuasaan. Karena sejatinya, melawan korupsi bukan hanya melindungi keuangan negara, tetapi menyelamatkan masa depan bangsa dan generasi yang akan datang.

Post a Comment