OPINI: Ketika Senjata Negara Berbalik ke Rakyat, Alarm Darurat Reformasi Aparat Penegak Hukum
Gelombang kasus kekerasan dan pembunuhan yang melibatkan aparat penegak hukum dalam beberapa waktu terakhir menimbulkan keprihatinan serius bagi praktik negara hukum di Indonesia. Aparat yang oleh konstitusi diberi mandat untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat justru dalam sejumlah peristiwa tampil sebagai pelaku tindak pidana berat terhadap warga negara. Fenomena ini tidak lagi dapat dipahami semata sebagai peristiwa insidental atau kesalahan personal, melainkan sebagai indikasi adanya persoalan struktural dalam sistem pembinaan, pengawasan, dan akuntabilitas aparat bersenjata.
Oleh: DR Muhamad Pazri SH MH
Ketua Yayasan Edukasi Hukum Indonesia
Direktur Utama Borneo Law Firm
Founder LBH Borneo Nusantara
Laporan Amnesty International Indonesia mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 terdapat puluhan kasus pembunuhan yang melibatkan anggota TNI dan Polri. Data tersebut penting dibaca bukan sekadar sebagai angka statistik, melainkan sebagai cerminan lemahnya mekanisme pengendalian penggunaan kekuatan dan senjata oleh aparat negara.
Fakta bahwa sebagian peristiwa terjadi di luar konteks tugas resmi, dengan latar konflik personal, relasi asmara, atau emosi sesaat, memperkuat dugaan bahwa pengawasan internal dan pembinaan psikologis belum berjalan secara memadai dan berkelanjutan.
Situasi tersebut sejalan dengan Catatan Akhir Tahun KontraS 2025 yang secara tegas menilai tahun 2025 sebagai “malapetaka hak asasi manusia”. Penilaian ini disandarkan pada temuan empiris yang menunjukkan eskalasi pelanggaran HAM, antara lain 42 kasus extra-judicial killing yang menewaskan 44 orang, 71 peristiwa penyiksaan dengan total 159 korban, serta ribuan pelanggaran hak-hak sipil dan politik, termasuk pembatasan kebebasan berekspresi, pembubaran paksa aksi warga, intimidasi, dan kriminalisasi. Yang menjadi sorotan utama adalah fakta bahwa aparatur negara, khususnya TNI dan Polri, tercatat sebagai aktor dominan dalam sebagian besar peristiwa tersebut. Dengan demikian, problem utama bukan semata pada banyaknya pelanggaran, melainkan pada absennya akuntabilitas negara yang efektif, sehingga pelanggaran yang bersifat struktural terus berulang tanpa koreksi institusional yang memadai.
Pakar hukum tata negara Prof Mahfud MD pernah mengingatkan bahwa keberlangsungan negara hukum tidak ditentukan oleh banyaknya regulasi, melainkan oleh kemampuan negara mengendalikan aparat penegaknya. Penegakan hukum akan kehilangan legitimasi ketika aparat yang diberi kewenangan justru menjadi pelanggar hukum. Peringatan tersebut menemukan relevansinya dalam kondisi saat ini, ketika hukum sering dirasakan tegas terhadap masyarakat sipil, tetapi belum sepenuhnya efektif dalam mencegah dan menindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat bersenjata.
Gambaran nasional tersebut juga tercermin di daerah, termasuk di Kalimantan Selatan. Kasus Jumran, oknum anggota TNI AL yang terbukti melakukan pembunuhan terhadap seorang jurnalis sekaligus mahasiswi dan telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, menunjukkan bahwa penindakan pidana memang dapat dilakukan. Namun, vonis yang berat tidak serta-merta menjawab pertanyaan publik mengenai efektivitas pengawasan internal militer, pencegahan dini, serta pemenuhan hak-hak korban dan keluarganya secara berkelanjutan. Keadilan pidana tidak seharusnya berhenti pada putusan pengadilan, melainkan juga mencakup tanggung jawab institusional dan jaminan perlindungan HAM pasca-perkara.
Belum pulih kepercayaan publik, masyarakat kembali dikejutkan oleh kasus pembunuhan seorang mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat yang melibatkan oknum polisi dengan motif personal. Tragedi ini menunjukkan betapa rapuhnya profesionalisme aparat bersenjata ketika persoalan psikologis dan relasi personal tidak terkelola dengan baik. Advokat HAM Todung Mulya Lubis pernah mengingatkan bahwa senjata di tangan aparat tanpa kontrol etik dan mental yang kuat berpotensi menjadi ancaman serius bagi hak hidup warga negara. Pernyataan tersebut relevan untuk dibaca sebagai peringatan sistemik, bukan sekadar kritik individual.
Dalam konteks ini, penggunaan istilah “oknum” perlu ditempatkan secara proporsional. Jika satu atau dua peristiwa dapat dikualifikasikan sebagai penyimpangan individual, maka pola kekerasan yang berulang di berbagai daerah dan institusi menandakan adanya persoalan sistemik. Sistem rekrutmen yang lebih menitikberatkan aspek fisik dan loyalitas, pembinaan yang menekankan disiplin formal ketimbang etika dan HAM, pengawasan yang bersifat reaktif, serta mekanisme pertanggungjawaban yang belum menyentuh dimensi institusional, merupakan rangkaian persoalan yang perlu dievaluasi secara menyeluruh.
KontraS menegaskan bahwa pelanggaran HAM oleh aparat kerap tidak diikuti oleh pertanggungjawaban institusional yang memadai. Padahal, dalam konsep negara hukum modern, tanggung jawab tidak berhenti pada individu pelaku, tetapi juga melekat pada struktur dan kebijakan yang memungkinkan pelanggaran tersebut terjadi. Tanpa keberanian negara untuk melakukan evaluasi dan koreksi menyeluruh, kekerasan aparat berisiko menjadi siklus berulang yang terus menggerus kepercayaan publik terhadap hukum.
Oleh karena itu, negara tidak boleh hadir hanya setelah nyawa melayang. Reformasi aparat penegak hukum harus dipahami sebagai kewajiban konstitusional, bukan respons sesaat terhadap tekanan publik. Penguatan tes psikologi berkala, evaluasi ketat kepemilikan dan penggunaan senjata api, pembinaan etik berbasis HAM, serta pengawasan eksternal yang independen merupakan prasyarat minimum dalam negara demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Pada akhirnya, keberhasilan negara hukum tidak diukur dari seberapa keras aparat menindak masyarakat, melainkan dari seberapa disiplin negara mengendalikan aparatnya sendiri. Apabila fungsi tersebut gagal dijalankan, maka penilaian tentang “malapetaka HAM” bukanlah sekadar kritik masyarakat sipil, melainkan refleksi historis atas kegagalan negara melindungi hak paling mendasar warganya, yakni hak untuk hidup dengan aman dan bermartabat. (*)

Post a Comment