Header Ads

DR Muhamad Pazri Sebut Banjir di Kalsel Dampak Kejahatan Ekologis Terstruktur?

MEDIANUSANOW - Ketua Yayasan Edukasi Hukum Indonesia (YEHI), DR Muhamad Pazri menegaskan banjir yang terus berulang di Provinsi Kalimantan Selatan bukan merupakan bencana alam semata, melainkan dampak langsung dari kejahatan ekologis yang berlangsung secara sistematis dan dilegitimasi oleh kebijakan negara.
Menurut Pazri, kerusakan lingkungan di Kalimantan Selatan telah melampaui batas daya dukung alam akibat masifnya deforestasi, aktivitas pertambangan, serta alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Kondisi tersebut, kata dia, menjadikan banjir sebagai peristiwa yang nyaris rutin terjadi setiap musim hujan.

“Curah hujan hanya pemicu. Akar persoalannya adalah kehancuran hutan, daerah resapan air, dan sungai akibat kebijakan yang membiarkan industri ekstraktif merusak lingkungan,” ujar Pazri dalam keterangannya di Banjarbaru, Desember 2025.

Ia mengingatkan bahwa tragedi banjir besar pada Januari 2021 seharusnya menjadi peringatan serius bagi pemerintah. Saat itu, sebelas dari tiga belas kabupaten/kota di Kalimantan Selatan terdampak banjir, lebih dari 633 ribu jiwa terkena dampak, 46 orang meninggal dunia, dan sekitar 123 ribu rumah terendam.

“Data itu bukan sekadar angka. Itu adalah bukti kegagalan tata kelola lingkungan yang sampai hari ini tidak pernah dibenahi secara serius,” katanya.

Pazri menyebut sejak 2005 tutupan hutan primer dan sekunder di Kalimantan Selatan terus menyusut akibat ekspansi pertambangan dan perkebunan skala besar. Ia juga menyoroti ratusan lubang bekas tambang yang dibiarkan tanpa reklamasi, yang menurutnya menjadi sumber bencana baru saat curah hujan tinggi.

Lebih lanjut, Pazri mengungkapkan bahwa dari total luas wilayah Kalimantan Selatan sekitar 3,7 juta hektare, lebih dari separuhnya telah dibebani izin industri ekstraktif. Sementara hutan primer yang tersisa hanya puluhan ribu hektare.

“Ini menunjukkan keberpihakan negara yang lebih kuat kepada kepentingan modal dibanding keselamatan rakyat,” tegasnya.

Dalam pandangannya, respons negara terhadap bencana selama ini masih bersifat reaktif. Pemerintah, kata Pazri, lebih fokus pada penanganan darurat seperti bantuan logistik dan normalisasi sungai, namun enggan menyentuh akar persoalan berupa pencabutan izin bermasalah dan penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan.

Ia juga mengkritik pendekatan solusi krisis iklim yang berbasis mekanisme pasar, seperti perdagangan karbon. Menurutnya, skema tersebut berpotensi menjadi kamuflase kejahatan ekologis jika tidak disertai pemulihan lingkungan secara nyata di lokasi kerusakan.

Pazri menegaskan bahwa secara konstitusional negara memiliki kewajiban melindungi lingkungan hidup. Ia merujuk Pasal 28H dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Penegakan hukum lingkungan harus dilakukan secara tegas dan tanpa pandang bulu. Kejahatan ekologis adalah kejahatan serius karena mengancam nyawa, ruang hidup, dan masa depan generasi,” ujarnya.

Ia mendorong pemerintah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin industri ekstraktif, menghentikan solusi iklim semu, serta memperkuat wilayah kelola rakyat sebagai langkah konkret mencegah bencana berulang.

“Banjir di Kalimantan Selatan bukan takdir. Ia adalah hasil dari pilihan kebijakan. Jika tidak ada keberanian politik untuk berubah, rakyat akan terus menjadi korban,” pungkas Pazri. (esw)
close
pop up banner