OPINI: Solusi Banjir Rob Kota Banjarmasin dalam Perspektif Hukum dan Pemerintahan Daerah
Banjarmasin selama ini dikenal sebagai Kota Seribu Sungai. Namun, identitas ekologis tersebut semakin terdesak akibat perubahan tata ruang yang tidak lagi berorientasi pada karakter geografis asli. Banjir rob yang muncul ketika air sungai pasang bukan sekadar fenomena alam, melainkan konsekuensi dari akumulasi kebijakan pembangunan yang kurang terencana dan tidak berpihak pada prinsip pengelolaan kota berbasis ekosistem air. Beberapa tahun terakhir, frekuensi dan intensitas rob semakin meningkat, merendam permukiman, mengganggu aktivitas masyarakat, serta menimbulkan kerugian ekonomi. Kondisi ini menunjukkan bahwa penanganan banjir rob tidak cukup dilakukan dengan pendekatan proyek fisik semata, tetapi memerlukan strategi hukum dan tata kelola daerah yang terencana dalam jangka panjang.
Oleh: DR Muhammad Pazri SH MH
Ketua Yayasan Edukasi Hukum Indonesia (YEHI)
Direktur Utama Borneo Law Firm
Pendiri Lembaga Bantuan Hukum Borneo Nusantara
Persoalan banjir rob tidak dapat dipandang hanya sebagai isu drainase, pengerukan sungai, ataupun program normalisasi yang bersifat sesaat. Penanganan rob sebenarnya terkait dengan kesalahan tata ruang yang terjadi bertahun-tahun, khususnya karena orientasi pembangunan kota semakin diarahkan pada reklamasi daratan, penimbunan rawa, serta pembangunan permukiman yang mengabaikan fungsi hidrologis tanah basah. Ketika Banjarmasin dipaksakan mengikuti logika pembangunan kota daratan, bukan kemajuan yang tercapai, melainkan ketidakseimbangan ekologis yang justru mengancam keberlanjutan kota air itu sendiri.
Pemerintah daerah sesungguhnya memiliki instrumen hukum untuk mengatur adaptasi ekologis kota melalui penerbitan Peraturan Daerah maupun Peraturan Wali Kota. Instrumen hukum tersebut dapat mengatur standar bangunan, tata letak kawasan permukiman, kewajiban pembangunan rumah panggung, larangan penimbunan kanal, hingga kewajiban penyediaan sumur resapan pada setiap pembangunan baru. Pengaturan melalui Peraturan Daerah bukan hanya penting untuk mengatasi persoalan banjir rob hari ini, tetapi menjadi fondasi ekologis bagi masa depan Banjarmasin.
Pemerintah Kota Banjarmasin juga perlu melakukan perubahan paradigma pembangunan. Selama ini solusi penanganan rob lebih banyak bergantung pada pengerukan sungai dan penambahan saluran drainase, padahal akar persoalan terletak pada struktur wilayah yang tidak adaptif terhadap air. Pemerintah harus menyusun rencana induk atau masterplan drainase terpadu berbasis kajian ilmiah yang menghubungkan pola aliran air mulai dari tingkat rukun tetangga hingga jaringan sungai besar. Tanpa desain tata kelola air yang menyeluruh dan data hidrologis yang terintegrasi, setiap proyek hanya akan bersifat sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah.
Dalam konteks pemerintahan, penganggaran menjadi persoalan yang tidak kalah penting. Penanganan banjir rob tidak dapat hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada tahun anggaran berjalan. Perlu kebijakan prioritas jangka panjang dengan dukungan anggaran berlapis, mulai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi, hingga dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dari Badan Usaha Milik Negara. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai lembaga legislatif memiliki kewajiban konstitusional untuk mengawasi dan mengarahkan anggaran, agar tidak sekadar menghasilkan proyek fisik, tetapi mengarah pada pembangunan lingkungan yang berkelanjutan.
Hak Masyarakat Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Peraturan Perundang-Undangan
Penanganan banjir rob juga harus dilihat dari perspektif hak masyarakat. Warga memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak asasi manusia fundamental: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ini berarti negara wajib memenuhi kebutuhan dasar warganya, termasuk kesejahteraan fisik dan mental, tempat tinggal layak, lingkungan sehat, dan layanan kesehatan serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak tersebut diperkuat oleh Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang memberikan hak kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi, melakukan partisipasi, dan memperoleh keadilan dalam rangka perlindungan lingkungan hidup.
Selain itu, Pasal 20A Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah menegaskan kewajiban pemerintah daerah untuk menjamin pemenuhan pelayanan dasar dan perlindungan terhadap masyarakat, termasuk penyediaan lingkungan hunian yang aman. Dengan demikian, kebijakan penanganan banjir rob merupakan mandat konstitusional sekaligus kewajiban negara dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia bidang lingkungan hidup.
Dalam kerangka Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Bangunan Gedung, Pemerintah Kota memiliki dasar hukum untuk menetapkan standar bangunan dan ketentuan teknis adaptasi lingkungan, termasuk rumah panggung, penyediaan sumur resapan, pengembangan ruang hijau air, hingga pengendalian penimbunan kawasan rawa. Peraturan Daerah bukan sekadar instrumen administratif, tetapi merupakan perwujudan hak masyarakat atas tempat tinggal yang layak dan lingkungan hidup yang baik sebagaimana dijamin oleh konstitusi.
Namun demikian, regulasi tersebut tidak akan efektif apabila implementasinya di lapangan tidak dijalankan secara konsisten. Dalam realitasnya, masih banyak bangunan di Kota Banjarmasin yang didirikan tanpa mengikuti ketentuan rumah panggung sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024. Pelanggaran terhadap elevasi bangunan dan pengabaian konstruksi rumah panggung menunjukkan lemahnya pelaksanaan regulasi, sekaligus mencerminkan pengawasan Pemerintah Daerah yang belum optimal. Situasi ini semakin diperburuk dengan fakta bahwa sistem drainase dan ruang air perkotaan menjadi terbatas akibat pembangunan yang tidak terkontrol, sehingga setiap pasang sungai ataupun hujan dengan intensitas tinggi langsung berdampak pada meningkatnya risiko banjir rob.
Oleh sebab itu, Pemerintah Kota perlu menegakkan peraturan daerah dengan lebih tegas, mulai dari pencabutan izin bangunan, penertiban konstruksi yang tidak sesuai, hingga inspeksi berkala yang melibatkan masyarakat. Tanpa pengawasan yang kuat, Peraturan Daerah hanya akan menjadi dokumen normatif yang tidak mampu menjawab permasalahan lingkungan perkotaan. Dengan memperkuat implementasi dan penegakan hukum, maka pembangunan rumah panggung bukan hanya menjadi konsep historis, tetapi menjadi strategi adaptasi ekologis yang nyata dalam mitigasi banjir rob di Kota Banjarmasin.
Solusi banjir rob ke depan harus berbasis kolaborasi yang melibatkan Pemerintah Kota, perguruan tinggi, pers, pelaku usaha, organisasi masyarakat, dan warga terdampak. Pemerintah perlu membuka ruang partisipasi publik sejak tahap perencanaan kebijakan, bukan hanya ketika pelaksanaan proyek. Model pembangunan dari atas ke bawah telah terbukti tidak efektif. Gerakan Banjarmasin Kota Air Modern hanya akan berhasil apabila masyarakat memahami, mendukung, dan terlibat langsung dalam perubahan tata ruang, pengelolaan kawasan sungai, serta upaya pencegahan banjir di lingkungan permukiman masing-masing.
Dengan demikian, penanganan banjir rob bukan semata-mata berkaitan dengan sedimentasi atau saluran air yang tersumbat, tetapi menyangkut visi jangka panjang mengenai arah pembangunan kota. Pertanyaannya, apakah Banjarmasin ingin mempertahankan diri sebagai kota air yang kuat, adaptif, dan berkelanjutan, atau justru berubah menjadi kota daratan instan yang rentan terhadap ancaman ekologis?
Jawaban dari pertanyaan tersebut sepenuhnya berada di tangan para pengambil keputusan, arah kebijakan hukum, serta keberanian pemerintah daerah dalam mengambil langkah strategis yang berpihak pada kearifan ekologis. Apabila momentum ini dimanfaatkan dengan baik, Banjarmasin bukan hanya mampu mengatasi banjir rob, tetapi berpeluang menjadi contoh kota air modern di Indonesia yang memandang air bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai identitas dan kekuatan pembangunan di masa depan. (*)

Post a Comment